Bila berbicara tentang dunia persilatan di Indonesia, tentu kita tidak bisa melewatkan Penca Cimande. Penca Cimande adalah salah satu aliran pencak silat tertua di Indonesia. Aliran silat ini menyebar ke seluruh nusantara dan melahirkan berbagai perguruan silat di Indonesia. Lalu, bagaimana kah aliran silat ini berawal?





Penca Cimande didirikan oleh Eyang Kahir (penyebutan Kahir ini bermacam-macam: Khair, Khaer, Kaher, Kohir, Kair, Kaer, dsb; kata Eyang yang juga kadang disebut dengan sebutan Abah atau Mbah). Kisah mengenai Eyang Kahir sendiri ada beragam versi. Setidaknya ada tiga versi yang beredar di kalangan persilatan.
Versi Pertama
Versi pertama adalah versi yang berkembang di daerah Priangan Timur (Garut, Tasikmalaya, dan Cianjur selatan). Menurut versi ini, Eyang Kahir adalah pedagang dari Bogor yang sering melakukan perjalanan ke berbagai daerah: Bogor, Batavia, Cianjur, Bandung, Sumedang, dsb (sekitara Abad 17 sampai Abad 18). Suatu hari, ia dirampok oleh kawanan perampok. Karena tidak menguasai ilmu beladiri, ia tidak bisa melawan sama sekali. Sampai suatu saat ia menemukan bahwa istrinya ternyata menguasai ilmu beladiri. Iapun mempelajari beladiri ini dari istrinya. Istrinya sendiri dikisahkan mempelajari ilmu ini sendiri setelah mengamati pertarungan antara harimau dan dua ekor monyet. Ilmu beladiri inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Penca Cimande. Setelah menguasai Penca Cimande, Eyang Kahir sempat bertemu kembali dengan kawanan perampok yang sama. Kali ini, ia dengan mudah mengalahkan mereka. Kemampuannya ini kemudian membuat namanya terkenal di dunia persilatan.
Versi Kedua
Versi kedua adalah versi yang berkembang di Jawa Barat bagian barat (Banten, Serang, Sukabumi, Tangerang). Menurut versi ini, Eyang Kahir adalah ahli beladiri dari Kampung Baduy. Ia dipercaya sebagai keturunan Abah Bugis – seorang pelatih beladiri pasukan khusus Kerajaan Padjajaran di masa dahulu. Karena kemampuannya, banyak pendekar datang ke Kampung Baduy untuk mengadu kesaktian. Banyak diantaranya yang berujung pada kematian. Oleh para sesepun Baduy, kejadian ini dianggap sebagai pengotoran di tanah Badui. Maka, Eyang Kahir pun diminta meninggalkan Kampung Baduy. Untuk menjaga rahasia Kampung Baduy, ia pun diminta untuk menyangkal bahwa ia adalah orang Baduy.
Versi Ketiga
Versi ketiga adalah versi yang berkembang di kampung Babakan Tarikolot, desa Cimande, Bogor. Di antara ketiga versi, versi ketiga ini adalah versi yang memiliki bukti-bukti lebih kuat, bukan hanya bermodal kisah tuturan. Menurut versi ketiga ini, Eyang Kahir adalah pedagang yang sering bepergian terutama ke daerah Batavia. Awalnya, ia berlatih silat dari Abah Buyut. Kemudian, ilmu silatnya semakin terasah dan berkembang setelah berinteraksi dengan pendekar silat dari wilayah lainnya. Dari sinilah kemudian ia menciptakan Penca Cimande.
Nama Eyang Kahir sangat terkenal di dunia persilatan, sampai-sampai bupati Cianjur – Rd. Aria Wiratanudatar VI (1776-1813) – memintanya untuk menjadi pengajar beladiri di kalangan keluarganya. Bupati Aria Wiratanudatar VI memiliki 3 orang anak, yaitu: Rd. Aria Wiranagara (Aria Cikalong), Rd. Aria Natanagara (Rd.Haji Muhammad Tobri) dan Aom Abas (ketika dewasa menjadi Bupati di Limbangan-Garut). Sepeninggalan Rd. Aria Wiratanudatar, Eyang Kahir mengikuti Rd. Aria Natanegara yang menjadi Bupati di Bogor. Sejak saat itulah, Eyang Kahir tinggal di Kampung Babakan Tarikolot, Desa Cimande sampai wafatnya (1825).
Sosok Eyang Kahir sendiri pernah digambarkan oleh Rd. Memed Sastraprawira di dalam buku Pangeran Kornel (terbit tahun 1930 dalam bahasa Sunda, diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1932). Rd. Memed menggambarkan Eyang Kahir sebagai berikut: “selalu berpakain kampret dan celana pangsi warna hitam. Dan juga dia selalu memakai ikat kepala warna merah, digambarkan bahwa ketika dia ‘ibing’ di atas panggung penampilannya sangat ekspresif, dengan badan yang tidak besar tetapi otot-otot yang berisi dan terlatih baik, ketika ‘ibing’ seperti tidak mengenal lelah. Terlihat bahwa dia sangat menikmati tariannya tetapi tidak kehilangan kewaspadaannya, langkahnya ringan bagaikan tidak menapak panggung, gerakannya selaras dengan kendang (“Nincak kana kendang” – istilah sunda). Penampilannya betul-betul tidak bisa dilupakan dan terus diperbincangkan.”
Referensi: